Kamis, 03 Desember 2020

Review UU Hak Cipta, Hak Paten, Desain Industri, Merek dan Indikasi Geografis

UU Hak Cipta

Hak cipta adalah hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.[1]

 
Ciptaan adalah setiap hasil karya cipta di bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra yang dihasilkan atas inspirasi, kemampuan, pikiran, imajinasi, kecekatan, keterampilan, atau keahlian yang diekspresikan dalam bentuk nyata.[2]
 
Berkaitan dengan pertanyaan Anda, maka pemahaman mengenai pemegang Hak Cipta yang dinyatakan secara sah dapat disimpulkan dari Pasal 1 angka 4 UUHC yang menyatakan bahwa:
 
Pemegang Hak Cipta adalah Pencipta sebagai pemilik Hak Cipta, pihak yang menerima hak tersebut secara sah dari Pencipta, atau pihak lain yang menerima lebih lanjut hak dari pihak yang menerima hak tersebut secara sah.
 
Pencipta adalah seorang atau beberapa orang yang secara sendiri-sendiri atau bersama-sama menghasilkan suatu ciptaan yang bersifat khas dan pribadi.[3]
 
Selanjutnya sehubungan dengan pemahaman awam mengenai sebenarnya kita tidak perlu capek-capek mendaftarkan ciptaan kita, karena tetap dilindungi adalah tidak benar.
 
Pertama perlu diluruskan bahwa dalam ranah hak cipta, frasa yang digunakan bukanlah pendaftaran, melainkan pencatatan.
 
Dalam Pasal 64 ayat (2) UUHC disebutkan sebagai berikut:
 
Pencatatan Ciptaan dan produk Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bukan merupakan syarat untuk mendapatkan Hak Cipta dan Hak Terkait.
 
Dapat dipahami bahwa pencatatan hak cipta memang bukan suatu keharusan bagi pencipta, pemegang hak cipta, atau pemilik hak terkait karena baik ciptaan yang sudah tercatat maupun tidak tercatat tetap dilindungi.[4] Namun demikian apabila terjadi suatu perselisihan/persengketaan/klaim antara dua belah pihak yang menyatakan bahwa masing-masing dari mereka itu adalah pemegang hak cipta atas suatu ciptaan, maka pencatatan atas ciptaan yang dilakukan oleh pencipta atau pemegang hak cipta atau kuasanya dapat menjadi suatu alat bukti yang kuat di depan persidangan yang sekaligus juga menjadi suatu bahan pertimbangan bagi Hakim untuk menentukan siapa pemegang hak cipta yang sah.
 
Sebagai informasi tambahan, kekuatan hukum pencatatan ciptaan dan produk hak terkait hapus karena:[5]
  1. permintaan orang atau badan hukum yang namanya tercatat sebagai pencipta, pemegang Hak Cipta, atau pemilik hak terkait;
  2. lampaunya waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58, Pasal 59, Pasal 60 ayat (2) dan ayat (3), dan Pasal 61 UUHC;
  3. putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap mengenai pembatalan pencatatan Ciptaan atau produk hak terkait; atau
  4. melanggar norma agama, norma susila, ketertiban umum, pertahanan dan keamanan negara, atau peraturan perundang-undangan yang penghapusannya dilakukan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia.[6]


UU Hak Paten
Hak Paten
Hak paten sendiri diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016 tentang Paten (“UU Paten”)Paten adalah hak eksklusif yang diberikan oleh negara kepada inventor atas hasil invensinya di bidang teknologi untuk jangka waktu tertentu melaksanakan sendiri invensi tersebut atau memberikan persetujuan kepada pihak lain untuk melaksanakannya.[1]
 
Inventor adalah seorang atau beberapa orang yang secara bersama-sama melaksanakan ide yang dituangkan ke dalam kegiatan yang menghasilkan invensi.[2] Sedangkan invensi adalah ide inventor yang dituangkan ke dalam suatu kegiatan pemecahan masalah yang spesifik di bidang teknologi berupa produk atau proses, atau penyempurnaan dan pengembangan produk atau proses.[3]
 
Pasal 10 UU Paten menerangkan bahwa:
 
  1. Pihak yang berhak memperoleh Paten adalah Inventor atau Orang yang menerima lebih lanjut hak Inventor yang bersangkutan.
  2. Jika Invensi dihasilkan oleh beberapa orang secara bersama-sama, hak atas Invensi dimiliki secara bersama-sama oleh para Inventor yang bersangkutan.
 
Invensi tidak mencakup:[4]
  1. kreasi estetika;
  2. skema;
  3. aturan dan metode untuk melakukan kegiatan:
  1. yang melibatkan kegiatan mental;
  2. permainan; dan
  3. bisnis.
  1. aturan dan metode yang hanya berisi program komputer;
  2. presentasi mengenai suatu informasi; dan
  3. temuan (discovery) berupa:
  1. penggunaan baru untuk produk yang sudah ada dan/atau dikenal; dan/atau
  2. bentuk baru dari senyawa yang sudah ada yang tidak menghasilkan peningkatan khasiat bermakna dan terdapat perbedaan struktur kimia terkait yang sudah diketahui dari senyawa.
 
Invensi yang tidak dapat diberi paten meliputi:[5]
  1. proses atau produk yang pengumuman, penggunaan, atau pelaksanaannya bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, agama, ketertiban umum, atau kesusilaan;
  2. metode pemeriksaan, perawatan, pengobatan dan/atau pembedahan yang diterapkan terhadap manusia dan/atau hewan;
  3. teori dan metode di bidang ilmu pengetahuan dan matematika;
  4. makhluk hidup, kecuali jasad renik; atau
  5. proses biologis yang esensial untuk memproduksi tanaman atau hewan, kecuali proses nonbiologis atau proses mikrobiologis.
 
Invensi dianggap baru jika pada tanggal diterimanya permohonan yang telah memenuhi persyaratan minimum, invensi tersebut tidak sama dengan teknologi yang diungkapkan sebelumnya.[6] Invensi mengandung langkah inventif jika invensi tersebut bagi seseorang yang mempunyai keahlian tertentu di bidang teknik merupakan hal yang tidak dapat diduga sebelumnya.[7]
 
Hak Paten dalam Hubungan Kerja
Pemegang paten atas invensi yang dihasilkan oleh inventor dalam hubungan kerja merupakan pihak yang memberikan pekerjaan, kecuali diperjanjikan lain.[8] Definisi hubungan kerja sendiri dapat ditemukan dalam Pasal 1 angka 15 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yaitu hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah.
 
Ketentuan di atas juga berlaku terhadap invensi yang dihasilkan, baik oleh karyawan maupun pekerja yang menggunakan data dan/atau sarana yang tersedia dalam pekerjaannya. Inventor berhak mendapatkan imbalan berdasarkan perjanjian yang dibuat oleh pihak pemberi kerja dan inventor dengan memerhatikan manfaat ekonomi yang diperoleh dari invensi dimaksud. Ketentuan-ketentuan tersebut tidak menghapuskan hak inventor untuk tetap dicantumkan namanya dalam sertifikat paten.[9]
 
Berdasarkan uraian tersebut, menurut hemat kami, hubungan Anda sebagai peserta inkubasi dengan inkubator bukan merupakan hubungan kerja. Dalam hal ini, Anda tidak menjadi pekerja, melainkan peserta pembinaan, pendampingan, dan pengembangan bisnis berbasis teknologi. Dengan demikian, hak paten atas invensi Anda tidak serta merta beralih pada penyelenggara inkubasi.
 
Peralihan Hak atas Paten kepada Pihak Lain
Berkaitan dengan pokok pertanyaan Anda, harus dipahami terlebih dahulu mengenai eksklusifitas hak paten bagi pemegangnya. Pemegang paten memiliki hak eksklusif untuk melaksanakan paten yang dimilikinya dan untuk melarang pihak lain yang tanpa persetujuannya:[10]
  1. dalam hal paten-produk: membuat, menggunakan, menjual, mengimpor, menyewakan, menyerahkan, atau menyediakan untuk dijual atau disewakan atau diserahkan produk yang diberi paten;
  2. dalam hal paten-proses: menggunakan proses produksi yang diberi paten untuk membuat barang atau tindakan lainnya sebagaimana dimaksud dalam huruf a.
 
Berdasarkan uraian tersebut, Anda sebagai inventor dan pemegang hak paten mendapatkan hak eksklusif untuk menjadi pihak satu-satunya untuk dapat menggunakan invensi tersebut.
 
Pasal 74 ayat (1) UU Paten lebih lanjut menerangkan bahwa hak atas paten dapat beralih atau dialihkan baik seluruhnya maupun sebagian karena:
  1. pewarisan;
  2. hibah;
  3. wasiat;
  4. wakaf;
  5. perjanjian tertulis; atau
  6. sebab lain yang dibenarkan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
 
Berdasarkan bunyi pasal tersebut, Anda dapat mengalihkan hak paten Anda kepada inkubator dengan perjanjian tertulis. Perjanjian ini, menurut hemat kami, tunduk pada ketentuan umum dalam Buku III tentang Perikatan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUH Perdata”).
 
Perikatan ditujukan untuk memberikan sesuatuuntuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu.[11] Perikatan lahir karena suatu persetujuan atau karena undang-undang.[12] Suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih.[13]
 
Berdasarkan uraian tersebut, Anda dapat melakukan perjanjian dengan pihak inkubator untuk menyerahkan hak paten Anda. Dengan penyerahan tersebut, pemegang paten dan pemegang hak eksklusif atas paten Anda beralih kepada pihak inkubator.
 
Namun perlu diingat bahwa penyerahan hak paten tersebut tidak boleh dilakukan dengan paksaan. Hal ini sesuai dengan pasal 1321 KUH Perdata, yang berbunyi:
 
Tiada suatu persetujuan pun mempunyai kekuatan jika diberikan karena kekhilafan atau diperoleh dengan paksaan atau penipuan.
 
Lisensi
Bentuk pengalihan hak paten lainnya yang dapat Anda jajaki adalah melalui lisensi kepada pihak inkubator, untuk melaksanakan seluruh atau sebagian hak eksklusif yang tercantum dalam Pasal 19 UU Paten. Pasal 76 ayat (1) dan (2) UU Paten menerangkan bahwa:
 
  1. Pemegang Paten berhak memberikan Lisensi kepada pihak lain berdasarkan perjanjian Lisensi baik eksklusif maupun non-eksklusif untuk melaksanakan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19.
  2. Perjanjian Lisensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat mencakup semua atau sebagian perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19.
 
Lisensi adalah izin yang diberikan oleh pemegang paten, baik yang bersifat eksklusif maupun non-eksklusif, kepada penerima lisensi berdasarkan perjanjian tertulis untuk menggunakan paten yang masih dilindungi dalam jangka waktu dan syarat tertentu.[14]
 
Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata-mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.
 
Demikian jawaban kami, semoga bermanfaat.
 
Dasar Hukum:
 
Referensi:
 

[1] Pasal 1 angka 1 UU Paten
[2] Pasal 1 angka 3 UU Paten
[3] Pasal 1 angka 2 UU Paten
[4] Pasal 4 UU Paten
[5] Pasal 9 UU Paten
[6] Pasal 5 ayat (1) jo. Pasal 1 angka 9 UU Paten
[7] Pasal 7 ayat (1) UU Paten
[8] Pasal 12 ayat (1) UU Paten
[9] Pasal 12 ayat (2), (3), dan (6) UU Paten
[10] Pasal 19 ayat (1) UU Paten
[11] Pasal 1234 KUH Perdata
[12] Pasal 1233 KUH Perdata
[13] Pasal 1313 KUH Perdata
[14] Pasal 1 angka 11 UU Paten


UU Desain Industri
  1. Pengertian Desain Industri

Desain Industri menurut UU No. 31 Tahun 2000 Tentang Desain Industri didefinisikan sebagai suatu kreasi tentang bentuk, konfigurasi, atau komposisi garis atau warna, atau garis dan warna, atau gabungan dari padanya yang berbentuk tiga dimensi atau dua dimensi yang memberikan kesan estetis dan dapat diwujudkan dalam pola tiga dimensi atau dua dimensi serta dapat dipakai untuk menghasilkan suatu produk, barang, komoditas industri, atau kerajinan tangan.

  1. Desain Industri yang Mendapatkan Perlindungan

Berdasarkan Pasal 2 (1) dinyatakan bahwa Hak Desain Industri diberikan untuk Desain Industri yang baru.

Lalu Berdasarkan Pasal 2 (2) dinyatakan bahwa Desain Industri dianggap baru apabila pada Tanggal Penerimaan, Desain Industri tersebut tidak sama dengan pengungkapan yang telah ada sebelumnya.

Kemudian, berdasarkan Pasal 2 (3) pengertian mengenai pengungkapan sebelumnya adalah pengungkapan Desain Industri yang sebelum :

  1. tanggal penerimaan; atau
  2. tanggal prioritas apabila Permohonan diajukan dengan Hak Prioritas.
  3. telah diumumkan atau digunakan di Indonesia atau di luar Indonesia.

Berdasarkan penjelasan pasal 2 (1) dan (2) terkadang dalam prakteknya banyak pengusaha yang melakukan promosi terlebih dahulu atas produknya kemudian menjual produknya ke pasaran sebelum Produk Desain Industrinya tersebut di daftarkan. Sehingga, pemeriksa Desain Industri dari Kantor HKI biasanya akan menemukan desainnya tersebut dan menyatakan bahwa desainnya tersebut sudah tidak memiliki kebaharuan karena sudah di jual terlebih dahulu sebelum di daftarkan. Oleh karena itu, para pengusaha yang akan memasarkan produk Desain Industrinya hendaknya terlebih dahulu untuk mendaftarkan Desain Industrinya tersebut sebelum mengkomersialkan produknya di pasaran.

Lalu berdasarkan Pasal 3 UU Desain Industri dijelaskan sebagai berikut :

Suatu Desain Industri tidak dianggap telah diumumkan apabila dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan sebelum Tanggal Penerimaannya, Desain Industri tersebut :

  1. telah dipertunjukkan dalam suatu pameran nasional ataupun internasional di Indonesia atau di luar negeri yang resmi atau diakui sebagai resmi.
  2. telah digunakan di Indonesia oleh Pendesain dalam rangka percobaan dengan tujuan pendidikan, penelitian, atau pengembangan.

Berdasarkan Pasal 3 ini, maka pemilik desain atau pendesain diberikan waktu 6 bulan maksimal dari tanggal pertama kali mempublikasikan karyanya dalam suatu pameran nasional ataupun internasional baik di dalam negeri ataupun di luar negeri dan digunakan dalam rangka riset oleh pendesainnya, jika akan mendaftarkan Desain Industrinya tersebut di Kantor HKI. Oleh karena itu, jika waktunya lebih dari 6 bulan maka akan menyebabkan Desain Industri tersebut sudah tidak baru dan sudah tidak bisa untuk didaftarkan lagi.

  1. Jangka Waktu Perlindungan Desain Industri :

Berdasarkan Pasal 5 (1) UU No. 31 Tahun 2001 Tentang Desain Industri disebutkan bahwa Perlindungan terhadap Hak Desain Industri diberikan untuk jangka waktu 10 (sepuluh) tahun terhitung sejak Tanggal Penerimaan.

Berdasarkan pasal diatas, sebuah Desain Industri yang telah lebih dari 10 tahun, maka Desain Industrinya tersebut sudah tidak memiliki perlindungannya lagi (public domain) maka siapapun dapat menggunakan Desain Industrinya tersebut tanpa memerlukan izin dari pemilik Desainnya.

  1. Jika Perusahaan Memesan Sebuah Desain Kemasan Kepada Pihak Ke 3 Lalu Bagaimana untuk Proses pendaftaran Desainnya Tersebut ?

 

Berdasarkan Pasal 6 (1) dinyatakan bahwa yang berhak memperoleh Hak Desain Industri adalah Pendesain atau yang menerima hak tersebut dari Pendesain.

Berdasarkan Pasal diatas, jika perusahaan ingin mendaftarkan sebuah desain kemasan produk, maka harus ada surat pengalihan Hak dari Pendesain kepada Perusahaan sebagai pihak yang akan mendaftarkan Desain Industrinya tersebut. Jika Desain Industri anda akan didaftarkan melalui Jasa Konsultan Kekayaan Intelektual, maka Konsultan akan memberikan template surat pengalihan hak (Assignment) untuk ditanda-tangani oleh pemberi hak (pendesain) diatas materai 6.000 dan juga ditandatangani oleh penerima hak (pemohon/perusahaan).

  1. Bagaimanakah Jika Pendesain lebih dari satu orang ?

Berdasarkan Pasal 6 (2) dinyatakan bahwa dalam hal Pendesain terdiri atas beberapa orang secara bersama, Hak Desain Industri diberikan kepada mereka secara bersama, kecuali jika diperjanjikan lain.

Sebagai contoh jika sebuah desain produk dibuat oleh 3 orang pendesain, maka ke-3 orang tersebut harus disebutkan namanya sebagai pendesain, namun jika ada perjanjian lain diantara masing-masing pihak maka bisa saja salah satunya saja yang disebutkan nama pendesainnya.

  1. Statistik Pengajuan Desain Industri di Indonesia

Berdasarkan data pengajuan Desain Industri ke Indonesia pada tahun 2015 pengajuan Desain Industri banyak didominasi oleh pemohon dari dalam negeri yaitu sejumlah 2.635 permohonan, sedangkan permohonan desain Industri dari luar negeri sejumlah 1.272 permohonan. Oleh karena itu, dengan banyaknya permohonan dari dalam negeri dibandingkan dari luar negeri hal ini menandakan bahwa permohonan dari dalam negeri akan terus meningkat kedepannya.


UU Merek dan Indikasi Geografis

Pada saat ini, untuk persoalan dan permasalahan seputar merek tidak lagi mempergunakan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1997 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1992 tentang Merek. Aturan tersebut telah diganti dengan Undang-Undang Nomor 15 tahun 2001 tentang Merek yang kemudian dicabut dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis (“UU MIG”).
 
Salah satu pertimbangan diundangkannya UU MIG pada tanggal 25 November 2016 dapat dilihat dalam konsiderans menimbang huruf c UU MIG, disebutkan bahwa dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek masih terdapat kekurangan dan belum dapat menampung perkembangan kebutuhan masyarakat di bidang merek dan indikasi geografis serta belum cukup menjamin pelindungan potensi ekonomi lokal dan nasional sehingga perlu diganti.
 
Selain itu, keikutsertaan Indonesia meratifikasi Konvensi tentang Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization) yang mencakup pula persetujuan tentang Aspek-aspek Dagang dari Hak Kekayaan Intelektual/HKI (Trade Related Aspect of Intellectual Property Rights/TRIPs) sebagaimana telah disahkan dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing the World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia), telah menuntut Indonesia untuk mematuhi dan melaksanakan isi dari perjanjian internasional tersebut. Ratifikasi dari peraturan tersebut mendorong keikutsertaan Indonesia dalam meratifikasi Paris Convention for the Protection of Industrial Property (Konvensi Paris) yang telah disahkan dengan Keputusan Presiden Nomor 15 Tahun 1997 dan Trademark Law Treaty (Traktat Hukum Merek) yang disahkan dengan Keputusan Presiden Nomor 17 Tahun 1997. Perjanjian internasional tersebut menjadikan adanya kewajiban bagi Indonesia untuk menyesuaikan Undang-Undang Merek yang berlaku dengan ketentuan dalam perjanjian internasional yang telah diratifikasi tersebut.[1]
 
Penyempurnaan dalam UU MIG dengan Aturan Sebelumnya
Perlu kami jabarkan bahwa terdapat beberapa penyempurnaan yang terdapat dalam UU MIG dibandingkan dengan aturan-aturan sebelumnya, yaitu:[2]
  1. Munculnya pelindungan terhadap tipe merek baru atau yang disebut sebagai merek nontradisional. Dalam UU MIG lingkup merek yang dilindungi meliputi pula merek suara, merek tiga dimensi, merek hologram, yang termasuk dalam kategori merek nontradisional tersebut;
  2. Adanya pengaturan tentang persyaratan minimum permohonan akan memberikan kemudahan dalam pengajuan permohonan dengan cukup mengisi formulir permohonan, melampirkan label atau contoh merek yang dimohonkan pendaftaran, dan membayar biaya permohonan;
  3. Perubahan terhadap alur proses pendaftaran merek dalam dimaksudkan untuk lebih mempercepat penyelesaian proses pendaftaran merek;
  4. Pemilik merek diberi kesempatan tambahan untuk dapat melakukan perpanjangan pendaftaran mereknya sampai 6 (enam) bulan setelah berakhirnya jangka waktu pendaftaran merek dengan maksud agar pemilik merek terdaftar tidak dengan mudah kehilangan hak atas mereknya sebagai akibat adanya keterlambatan dalam mengajukan perpanjangan pendaftaran merek;
  5. Sanksi pidana terhadap pelanggaran merek diperberat khususnya yang mengancam kesehatan manusia, lingkungan hidup, dan dapat mengakibatkan kematian.
 
Selain 5 hal di atas, dalam artikel Ini Perbedaan UU Merek yang Lama dan UU Merek yang Baru dijelaskan bahwa terdapat beberapa perbedaan dalam UU MIG dengan UU merek yang lama, yaitu:
  1. Menteri memiliki hak untuk menghapus merek terdaftar dengan alasan merek tersebut merupakan indikasi geografis, atau bertentangan dengan kesusilaan dan agama; Sedangkan untuk pemilik merek terdaftar tersebut dapat mengajukan keberatannya melalui gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara;
  2. Merek terkenal dapat mengajukan gugatan berdasarkan putusan pengadilan;
  3. Ketentuan mengenai indikasi geografis diatur dalam empat Bab (Pasal 53 sampai dengan Pasal 71 UU MIG).
 
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
 
Dasar Hukum:
 
Referensi:
  1. Paris Convention for the Protection of Industrial Property, diakses pada Selasan 9 Juli 2019, pukul 17.04 WIB;
  2. Trademark Law Treaty, diakses pada Selasa 9 Juli 2019, pukul 17.19 WIB.
  3. Trade Related Aspect of Intellectual Property Rights/TRIPs, diakses pada Selasa 9 Juli 2019, pukul 16.48 WIB.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

BLOG_CMT_createIframe('https://www.blogger.com/rpc_relay.html');