Kamis, 03 Desember 2020

UU 13 tahun 2016 tentang Paten dan UU 20 tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis

UU 13 tahun 2016 tentang Paten

Pelaksanaan Paten telah berlaku sejak ditetapkannya Undang-Undang Nomor 14 tahun 2001 tentang Paten. Namun memerlukan penyesuaian substansial terhadap perkembangan hukum di tingkat nasional maupun internasional. UU Paten yang baru akan menyesuaikan dengan standar dalam Persetujuan tentang Aspek-Aspek Dagang Hak Kekayaan Intelektual (Agreement on Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights) yang selanjutnya disebut dengan persetujuan TRIPs. Untuk itulah Undang-Undang Nomor 13 tahun 2016 tentang Paten ditetapkan dan mengganti UU 14 tahun 2001 tentang Paten.

Revisi UU Paten dalam UU 13 tahun 2016 tentang Paten melalui pendekatan:

  1. optimalisasi kehadiran negara dalam pelayanan terbaik pemerintah di bidang kekayaan intelektual;
  2. keberpihakan pada kepentingan Indonesia tanpa melanggar prinsip-prinsip internasional;
  3. mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektor-sektor strategis ekonomi domestik dengan mendorong Invensi nasional di bidang teknologi untuk mewujudkan penguatan teknologi; dan
  4. membangun landasan Paten nasional melalui pendekatan sistemik realisme hukum pragmatis (pragmatic Legal Realism).

Pentingnya perubahan UU Paten dari UU 14 tahun 2001 tentang Paten menjadi UU 13 tahun 2014 tentang Paten adalah:

  1. Penyesuaian dengan sistem otomatisasi administrasi kekayaan intelektual karena terkait dengan mekanisme pendaftaran Paten dapat diajukan secara elektronik;
  2. Penyempurnaan ketentuan pemanfaatan Paten oleh Pemerintah;
  3. Pengecualian atas tuntutan pidana dan perdata untuk impor paralel (parallel import) dan provisi bolar (bolar provision);
  4. Invensi berupa penggunaan kedua dan selanjutnya (second use dan second medical use) atas Paten yang sudah habis masa pelindungan (public domain) tidak diperbolehkan;
  5. Imbalan bagi peneliti Aparatur Sipil Negara sebagai inventor dalam hubungan dinas dari hasil komersialisasi Patennya;
  6. Penyempurnaan ketentuan terkait Invensi baru dan langkah inventif untuk publikasi di Perguruan Tinggi atau lembaga ilmiah nasional;
  7. Paten dapat dijadikan objek jaminan fidusia;
  8. Menambah kewenangan Komisi Banding Paten untuk memeriksa permohonan koreksi atas deskripsi, klaim, atau gambar setelah Permohonan diberi paten dan penghapusan Paten yang sudah diberi;
  9. Paten dapat dialihkan dengan cara wakaf.
  10. Ketentuan tentang pengangkatan dan pemberhentian ahli oleh Menteri sebagai Pemeriksa;
  11. Adanya mekanisme masa tenggang terkait pembayaran biaya tahunan atas Paten;.
  12. Pengaturan mengenai force majeur dalam pemeriksaan administratif dan substantif Permohonan;
  13. Pengaturan ekspor dan impor terkait Lisensi-wajib;
  14. Terdapat mekanisme mediasi sebelum dilakukannya tuntutan pidana;
  15. Membuka kesempatan seluas-luasnya kepada industri nasional untuk memanfaatkan Paten yang telah berakhir masa pelindungannya secara optimal dan lepas dari tuntutan hukum dan kewajiban membayar Royalti; dan
  16. Pemberian Lisensi-wajib atas permintaan negara berkembang (developing country) atau negara belum berkembang (least developed country) yang membutuhkan produk farmasi yang diberi Paten di Indonesia untuk keperluan pengobatan penyakit yang sifatnya endemi, dan produk farmasi tersebut dimungkinkan diproduksi di Indonesia, untuk diekspor ke negara tersebut. Sebaliknya pemberian Lisensi-wajib untuk mengimpor pengadaan produk farmasi yang diberi Paten di Indonesia namun belum mungkin diproduksi di Indonesia untuk keperluan pengobatan penyakit yang sifatnya endemi.

Undang-Undang Nomor 13 tahun 2016 tentang Paten disahkan Presiden Joko Widodo pada tanggal 26 Agustus 2016 di Jakarta. UU 13/2016 tentang Paten diundangkan pada tanggal 26 Agustus 2016 oleh Menkumham Yasonna H. Laoly di Jakarta dan ditempatkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 176. Penjelasan UU 13/2016 tentnag Paten ditempatkan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5922, agar seluruh rakyat Indonesia mengetahuinya.


UU 20 tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis

Merek adalah tanda yang dapat ditampilkan secara grafis berupa gambar, logo, nama, kata, huruf, angka, susunan warna, dalam bentuk 2 (dua) dimensi dan/atau 3 (tiga) dimensi, suara, hologram, atau kombinasi dari 2 (dua) atau lebih unsur tersebut untuk membedakan barang dan/atau jasa yang diproduksi oleh orang atau badan hukum dalam kegiatan perdagangan barang dan/atau jasa.

Indikasi Geografis adalah suatu tanda yang menunjukkan daerah asal suatu barang dan/atau produk yang karena faktor lingkungan geografis termasuk faktor alam, faktor manusia atau kombinasi dari kedua faktor tersebut memberikan reputasi, kualitas, dan karakteristik tertentu pada barang dan/atau produk yang dihasilkan. Merek dan Indikasi Geografis diatur dengan UU Nomor 20 tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis.

UU 20 tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis disahkan Presiden Joko Widodo pada tanggal 25 November 2016 dan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 252 dan Penjelasan Atas UU 20 tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5953 oleh Menkumham Yasonna H. Laoly pada tanggal 25 November 2016 di Jakarta.

Pengaruh globalisasi di segala bidang kehidupan masyarakat, baik di bidang sosial, ekonomi, maupun budaya semakin mendorong laju perkembangan perekonomian masyarakat. Di samping itu, dengan semakin meningkatnya perkembangan teknologi informasi dan sarana transportasi, telah menjadikan kegiatan di sektor perdagangan baik barang maupun jasa mengalami perkembangan yang sangat pesat. Kecenderungan akan meningkatnya arus perdagangan barang dan jasa tersebut akan terus berlangsung secara terus menerus sejalan dengan pertumbuhan ekonomi nasional yang semakin meningkat. Dengan memperhatikan kenyataan dan kecenderungan seperti itu, menjadi hal yang dapat dipahami jika ada tuntutan kebutuhan suatu pengaturan yang lebih memadai dalam rangka terciptanya suatu kepastian dan pelindungan hukum yang kuat. Apalagi beberapa negara semakin mengandalkan kegiatan ekonomi dan perdagangannya pada produk yang dihasilkan atas dasar kemampuan intelektualitas manusia. Mengingat akan kenyataan tersebut, Merek sebagai salah satu karya intelektual manusia yang erat hubungannya dengan kegiatan ekonomi dan perdagangan memegang peranan yang sangat penting.

Kegiatan perdagangan barang dan jasa melintasi batas wilayah negara. Oleh karena itu mekanisme pendaftaran Merek internasional menjadi salah satu sistem yang seharusnya dapat dimanfaatkan guna melindungi Merek nasional di dunia internasional. Sistem pendaftaran Merek internasional berdasarkan Protokol Madrid menjadi sarana yang sangat membantu para pelaku usaha nasional untuk mendaftarkan Merek mereka di luar negeri dengan mudah dan biaya yang terjangkau.

Di samping itu pula, keikutsertaan Indonesia meratifikasi Konvensi tentang Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization) yang mencakup pula persetujuan tentang Aspek-aspek Dagang dari Hak Kekayaan Intelektual/HKI (Trade Related Aspect of Intellectual Property Rights/TRIPs) sebagaimana telah disahkan dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing the World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia), telah menuntut Indonesia untuk mematuhi dan melaksanakan isi dari perjanjian internasional tersebut. Ratifikasi dari peraturan tersebut mendorong keikutsertaan Indonesia dalam meratifikasi Paris Convention for the Protection of Industrial Property (Konvensi Paris) yang telah disahkan dengan Keputusan Presiden Nomor 15 Tahun 1997 dan Trademark Law Treaty (Traktat Hukum Merek) yang disahkan dengan Keputusan Presiden Nomor 17 Tahun 1997. Perjanjian internasional tersebut menjadikan adanya kewajiban bagi Indonesia untuk menyesuaikan Undang-Undang Merek yang berlaku dengan ketentuan dalam perjanjian internasional yang telah diratifikasi tersebut.

Salah satu perkembangan di bidang Merek adalah munculnya pelindungan terhadap tipe Merek baru atau yang disebut sebagai Merek nontradisional. Dalam Undang-Undang ini lingkup Merek yang dilindungi meliputi pula Merek suara, Merek tiga dimensi, Merek hologram, yang termasuk dalam kategori Merek nontradisional tersebut. Selanjutnya, beberapa penyempurnaan untuk lebih meningkatkan pelayanan kepada masyarakat Pemohon Merek. Untuk lebih memudahkan bagi Pemohon dalam melakukan pendaftaran Merek perlu dilakukan beberapa revisi atau perubahan berupa penyederhanaan proses dan prosedur pendaftaran Merek. Adanya pengaturan tentang persyaratan minimum Permohonan akan memberikan kemudahan dalam pengajuan Permohonan dengan cukup mengisi formulir Permohonan, melampirkan label atau contoh Merek yang dimohonkan pendaftaran, dan membayar biaya Permohonan. Dengan memenuhi kelengkapan persyaratan minimum Permohonan tersebut, suatu Permohonan Merek akan diberikan Tanggal Penerimaan atau filing date.

Perubahan terhadap alur proses pendaftaran Merek dalam Undang-Undang ini dimaksudkan untuk lebih mempercepat penyelesaian proses pendaftaran Merek. Dilaksanakannya pengumuman terhadap Permohonan sebelum dilakukannya pemeriksaan substantif dimaksudkan agar pelaksanaan pemeriksaan substantif dapat dilakukan sekaligus jika ada keberatan dan/atau sanggahan sehingga tidak memerlukan pemeriksaan kembali.

Berkenaan dengan Permohonan perpanjangan pendaftaran Merek, pemilik Merek diberi kesempatan tambahan untuk dapat melakukan perpanjangan pendaftaran Mereknya sampai 6 (enam) bulan setelah berakhirnya jangka waktu pendaftaran Merek. Ketentuan ini dimaksudkan agar pemilik Merek terdaftar tidak dengan mudah kehilangan Hak atas Mereknya sebagai akibat adanya keterlambatan dalam mengajukan perpanjangan pendaftaran Merek.

Selain itu, untuk lebih memberikan pelindungan hukum terhadap pemilik Merek terdaftar dari adanya pelanggaran Merek yang dilakukan oleh pihak lain, sanksi pidana terhadap pelanggaran Merek tersebut diperberat khususnya yang mengancam kesehatan manusia, lingkungan hidup, dan dapat mengakibatkan kematian. Mengingat masalah Merek terkait erat dengan faktor ekonomi, dalam Undang-Undang ini sanksi pidana denda diperberat.

Salah satu hal yang diatur dalam Undang-Undang ini adalah tentang Indikasi Geografis, mengingat Indikasi Geografis merupakan potensi nasional yang dapat menjadi komoditas unggulan, baik dalam perdagangan domestik maupun internasional. Oleh karena itu, Undang-Undang ini ditetapkan dengan nama Undang-Undang Merek dan Indikasi Geografis.

KODE ETIK PROFESI PADA BIDANG TEKNIK

 ETIKA

Menurut para ahli maka etika tidak lain adalah aturan prilaku, adat kebiasaan manusia dalam pergaulan antara sesamanya dan menegaskan mana yang benar dan mana yang buruk. Perkataan etika atau lazim juga disebut etik, berasal dari kata Yunani ETHOS yang berarti norma-norma, nilai-nilai, kaidah-kaidah dan ukuran-ukuran bagi tingkah laku manusia yang baik, seperti yang dirumuskan oleh beberapa ahli berikut ini :

  • Drs. O.P. SIMORANGKIR : etika atau etik sebagai pandangan manusia dalam berprilaku menurut ukuran dan nilai yang baik.
  • Drs. Sidi Gajalba dalam sistematika filsafat : etika adalah teori tentang tingkah laku perbuatan manusia dipandang dari seg baik dan buruk, sejauh yang dapat ditentukan oleh akal.
  • Drs. H. Burhanudin Salam : etika adalah cabang filsafat yang berbicara mengenai nilai dan norma moral yang menentukan prilaku manusia dalam hidupnya

Etika secara etimologi berasal dari bahasa Yunani, yaitu “Ethos” yang memiliki arti watak kesusilaan atau adat. Para ahli mengatakan bahwa etika adalah aturan perilaku, adat kebiasaan manusia dalam pergaulan antara sesamanya, serta menegaskan mana yang benar dan mana yang buruk. Etika sendiri digunakan untuk menilai apakah tindakan yang telah dikerjakan itu salah atau benar, buruk atau baik. Tujuan etika sendiri untuk mendapatkan konsep mengenai penilaian baik buruk manusia sesuai dengan norma-norma yang berlaku.

Adapun bebarapa contoh karakter-karakter tidak ber-etika dalam kehidupan sehari sebagai berikut:

  1. Melakukan suatu kegaduhan yang mengganggu, seperti suara radio atau TV, atau mengganggu mereka dengan melempari halaman orang lain dengan kotoran, atau menutup jalan orang lain.
  2. Mencari-cari kesalahan/kekeliruan orang lain dan bahagia bila orang lain keliru, bahkan seharusnya kita tidak memandang kekeliruan dan kealpaan orang lain.
  3. Mengunjing (meghibah) dan mengadu domba orang lain.
  4. Memonopoli pembicaraan, tidak memberikan orang lain kesempatan berbicara.
  5. Perkataan kasar, keras, dan ucapan yang menyakitkan perasaan dan mencari-cari kesalahan pembicaraan orang lain dan kekeliruannya, karena hal tersebut dapat mengundang kebencian, permusuhan dan pertentangan.

Sedangkan beberapa contoh aktivitas yang tidak beretika professional dalam bekerja adalah sebagai berikut:

  1. Menambah keuntungan bagi dirinya dan melakukan hal-hal yang melanggar kode etik profesinya misalnya ukuran-ukuran kualitas bangunan dikurangi sehingga hasil yang dicapai cepat dan murah namun tidak tahan lama, hal ini tentu sangat fatal akibatnya bagi pengguna bangunan yang dibuat kontraktor tersebut.
  2. Kasus pelanggaran kode etik pada produk berbahaya, produk merupakan salah satu kebutuhan yang ingin diperoleh masyarakat untuk kelangsungan hidupnya. Tentunya, dalam membuat suatu produk, produsen bertujuan untuk memuaskan pelanggan dengan cara produk yang dibuatnya dapat bermanfaat bagi konsumennya. Di sisi lain, justru banyak produk yang dihasilkan itu merugikan pelanggan karena memiliki dampak negatif atau berbahaya bagi konsumen. Contohnya adalah kasus baru-baru ini yaitu susu yang mengandung melamin yang berbahaya bagi konsumen. Contoh kasus tersebut jelas menyalahi etika profesi. Apabila produsen susu tersebut memiliki etika profesi, maka produk berbahaya tersebut tidak akan muncul di pasaran.
  3. Kasus pelanggaran kode etik pada dunia maya, dampak yang ditimbulkan dari kasus tersebut, diantaranya: virus, spam, penyadapan, carding, melumpuhkan target. Implikasi dari INTERNET (Interconection Networking), memungkinkan pengguna IT semakin meluas, tak terpetakan, tak teridentifikasi dalam dunia. Otomatisasi bisnis dengan internet dan layanannya, mengubah bisnis proses yang telah ada dari transaksi konvensional kepada yang berbasis teknologi, melahirkan implikasi negative, bermacam kejahatan, penipuan, hingga kerugian lainnya akibat penggunaan internet dalam dunia bisnis. Pelanggaran HAKI, yakni masalah pengakuan hak atas kekayaan intelektual, pembajakan, cracking, software ilegal.
  4. Seorang yang bekerja di bagian QC tersebut melakukan hal yang dianggap tidak baik, yaitu dengan meloloskan suatu produk yang sebenarnya dianggap cacat atau tidak layak. Hal ini disebut pelanggaran etika karena di dalam diri orang tersebut tidak ditanamkan norma-norma yang berlaku dalam etika profesi. Dampak yang ditimbulkan adalah nama baik perusahaan tersebut akan tercoreng karena tindakan oknum yang melakukan tindakan tersebut.
  5. Seorang insinyur yang merencanakan untuk membuat nuklir dengan tujuan menghancurkan negara lain. Seharusnya insinyur yang pintar itu, tidak membuat suatu nuklir yang dapat membunuh banyak orang, tetapi seharusnya dapat membuat sesuatu yang dapat berguna bagi kehidupan orang banyak.

  

PROFESI

Profesi adalah aktivitas intelektual yang dipelajari termasuk pelatihan yang diselenggarakan secara formal ataupun tidak formal dan memperoleh sertifikat yang dikeluarkan oleh sekelompok / badan yang bertanggung jawab pada keilmuan tersebut dalam melayani masyarakat, menggunakan etika layanan profesi dengan mengimplikasikan kompetensi mencetuskan ide, kewenangan ketrampilan teknis dan moral serta bahwa perawat mengasumsikan adanya tingkatan dalam masyarakat #DANIEL BELL (1973)

Istilah profesi telah dimengerti oleh banyak orang bahwa suatu hal yang berkaitan dengan bidang yang sangat dipengaruhi oleh pendidikan dan keahlian, sehingga banyak orang yang bekerja tetap sesuai. Tetapi dengan keahlian saja yang diperoleh dari pendidikan kejuruan, juga belum cukup disebut profesi. Tetapi perlu penguasaan teori sistematis yang mendasari praktek pelaksanaan, dan hubungan antara teori dan penerapan dalam praktek.

Secara umum ada beberapa ciri atau sifat yang selalu melekat pada profesi, yaitu :

  1. Adanya pengetahuan khusus, yang biasanya keahlian dan keterampilan ini dimiliki berkat pendidikan, pelatihan dan pengalaman yang bertahun-tahun.
  2. Adanya kaidah dan standar moral yang sangat tinggi. Hal ini biasanya setiap pelaku profesi mendasarkan kegiatannya pada kode etik profesi.
  3. Mengabdi pada kepentingan masyarakat, artinya setiap pelaksana profesi harus meletakkan kepentingan pribadi di bawah kepentingan masyarakat.
  4. Ada izin khusus untuk menjalankan suatu profesi. Setiap profesi akan selalu berkaitan dengan kepentingan masyarakat, dimana nilai-nilai kemanusiaan berupa keselamatan, keamanan, kelangsungan hidup dan sebagainya, maka untuk menjalankan suatu profesi harus terlebih dahulu ada izin khusus.
  5. Kaum profesional biasanya menjadi anggota dari suatu profesi.

 

ETIKA PROFESI

Etika didefinisikan sebagai “the discpline which can act as the performance index or reference for our control system”. Dengan demikian, etika akan memberikan semacam batasan maupun standar yang akan mengatur pergaulanmanusia di dalam kelompok sosialnya. Dengan demikian etika adalah refleksi dari apa yang disebut dengan “self control”, karena segala sesuatunya dibuat dan diterapkan dari dan untuk kepentingan kelompok sosial (profesi) itu sendiri. Menurut De George profesi adalah pekerjaan yang dilakukan sebagai kegiatan pokok untuk menghasilkan nafkah hidup dan yang mengandalkan suatu keahlian. Etika Profesi adalah suatu tindakan refleksi atau self control dalam pekerjaan yang dilakukan untuk kepentingan sosial atau sendiri dalam suatu bidang keahlain tertentu.

Etika profesi sangat penting dalam bidang keteknikan dikarenakan suatu profesi harus mempunyai tanggung jawab, keadilan, dan otonomi. Tanggung jawab terhadap pelaksanaan pekerjaan itu dan terhadap hasil, serta terhadap dampak dari profesi tersebut untuk kehidupan orang lain. Keadilan disini menuntut suatu profesi memberikan kepada siapa saja apa yang menjadi haknya. Otonomi dalam etika profesi dimaksudkan agar setiap profesional memiliki dan di beri kebebasan dalam menjalankan profesinya. Apabila profesi keteknikan dilakukan tanpa etika maka akan berakibat fatal terhadap intuisinya, orang-orang yang bekerja dalam suatu intuisi tersebut, masyarakat luas, serta akan berakibat fatal terhadap lingkungan. Profesi dalam bidang keteknikan harus dilakukan dengan kesadaran penuh terhadap pengabdian kepada masyarakat. 

 

PERANAN ETIKA DALAM PROFESI

  • Nilai-nilai etika itu tidak hanya milik satu atau dua orang, atau segolongan orang saja, tetapi milik setiap kelompok masyarakat, bahkan kelompok yang paling  kecil yaitu keluarga sampai pada suatu bangsa. Dengan nilai-nilai etika tersebut, suatu kelompok diharapkan akan mempunyai tata nilai untuk mengatur kehidupan bersama
  • Salah satu golongan masyarakat yang mempunyai nilai-nilai yang menjadi landasan dalam pergaulan baik dengan kelompok atau masyarakat umumnya maupun dengan sesama anggotanya, yaitu masyarakat profesional. Golongan ini sering menjadi pusat perhatian karena adanya tata nilai yang mengatur dan tertuang secara tertulis (yaitu kode etik profesi) dan diharapkan menjadi pegangan para anggotanya.
  • Sorotan masyarakat menjadi semakin tajam manakala perilaku-perilaku sebagian para anggota profesi yang tidak didasarkan pada nilai-nilai pergaulan yang telah disepakati bersama (tertuang dalam kode etik profesi), sehingga terjadi kemerosotan etik pada masyarakat profesi tersebut. Sebagai contohnya adalah pada profesi hukum dikenal adanya mafia peradilan, demikian juga pada profesi dokter dengan pendirian klinik super spesialis di daerah mewah, sehingga masyarakat miskin tidak mungkin menjamahnya.

 

 KODE ETIK PROFESI

Kode etik profesi merupakan kriteria prinsip profesional yang telah digariskan, sehingga diketahui dengan pasti kewajiban profesional anggota lama, baru, ataupun calon anggota kelompok profesi. Kode etik profesi telah menentukan standarisasi kewajiban profesional anggota kelompok profesi. Sehingga pemerintah atau masyarakat tidak perlu campur tangan untuk menentukan bagaimana profesional menjalankan kewajibannya. Kode etik profesi pada dasarnya adalah norma perilaku yang sudah dianggap benar atau yang sudah mapan dan tentunya lebih efektif lagi apabila norma perilaku itu dirumuskan secara baik, sehingga memuaskan semua pihak.

 

FUNGSI KODE ETIK PROFESI

Mengapa kode etik profesi perlu dirumuskan secara tertulis? Sumaryono (1995) mengemukakan 3 alasannya yaitu :

  • Sebagai sarana kontrol sosial
  •  Sebagai pencegah campur tangan pihak lain
  • Sebagai pencegah kesalahpahaman dan konflik

 

KELEMAHAN KODE ETIK PROFESI

  • Idealisme terkandung dalam kode etik profesi tidak sejalan dengan fakta yang terjadi di sekitar para profesional, sehingga harapan sangat jauh dari kenyataan. Hal ini cukup menggelitik para profesional untuk berpaling kepada nenyataan dan menabaikan idealisme kode etik profesi. Kode etik profesi tidak lebih dari pajangan tulisan berbingkai.
  • Kode etik profesi merupakan himpunan norma moral yang tidak dilengkapi dengan sanksi keras karena keberlakuannya semata-mata berdasarkan kesadaran profesional. Rupanya kekurangan ini memberi peluang kepada profesional yang lemah iman untuk berbuat menyimpang dari kode etik profesinya.

 

PRINSIP DASAR DI DALAM ETIKA PROFESI

  • Prinsip Standar Teknis, profesi dilakukan sesuai keahlian
  • Prinsip Kompetensi, melaksanakan pekerjaan sesuai jasa profesionalnya, kompetensi dan ketekunan
  • Prinsip Tanggungjawab, profesi melaksanakan tanggung jawabnya sebagai profesional
  • Prinsip Kepentingan Publik, menghormati kepentingan publik
  • Prinsip Integritas, menjunjung tinggi nilai tanggung jawab professional
  • Prinsip Objektivitas, menjaga objektivitas dalam pemenuhan kewajiban
  • Prinsip Kerahasiaan, menghormati kerahasiaan informasi
  • Prinsip Prilaku Profesional, berprilaku konsisten dengan reputasi profesi

 

PERANAN ETIKA PROFESI DALAM BIDANG TEKNIK INDUSTRI

Etika menjadi atribut pembeda yang membedakan antara manusia dengan mahluk hidup yang lainnya. Manusia dikatakan sebagai mahluk yang memiliki sebuah derajat yang tinggi di dunia ini, salah satunya karena adanya etika. Berikut ini adalah salah satu contoh etika yang telah disepakati oleh suatu organisasi yaitu tentang kode etik seorang sarjana Teknik Industri dan Manajemen Industri. Semoga menjadi contoh untuk kita semua.

Untuk lebih menghayati Kode Etik Profesi Sarjana Teknik Industri dan Manajemen Industri Indonesia dalam operasionalisasi sesuai bidang masing-masing, dan sadar sepenuhnya akan tanggung jawab sebagai warga negara maupun sebagai sarjana, akan panggilan pertumbuhan dan pengembangan pembangunan di Indonesia maka kami Sarjana Teknik Industri dan Manajemen Industri bersepakat untuk lebih mempertinggi pengabdian kepada Bangsa, Negara dan Masyarakat. Selaras dengan dasar negara yaitu “PANCASILA” maka disusunlah kode etik profesi berikut ini yang harus dipegang dengan keyakinan bahwa penyimpangan  darinya merupakan pencemaran kehormatan dan martabat Sarjana Teknik dan Manajemen Industri Indonesia. 

PASAL 1: Dalam melaksanakan tugas yang dipercayakan kepadanya Sarjana Teknik Industri dan Manajemen Industri akan selalu mengerahkan segala kemampuan dan pengalamannya untuk selalu berupaya mencapai hasil yang terbaik didalam keluhuran budi dan kemanfaatan masyarakat luas secara bertanggung jawab. 

PASAL 2: Dalam melaksanakan tugas yang melibatkan disiplin dan pengetahuan lain, Sarjana Teknik Industri dan Manajemen Indutstri akan senatiasa menghormati dan menghargai keterlibatan mereka, dan akan selalu mendayagunakan disiplin Teknik Indutri dan Manajemen Industri akan dapat lebih dioptimalkan dalam upaya mencapai hasil terbaik. 

PASAL 3: Sarjana Teknik Industri dan Manajemen Industri bertanggung jawab atas pengembangan keilmuan dan penerapannya dimasyarakat, dan akan selalu berupaya agar tercapai kondisi yang efisien dan optimal dalam segenap upaya bagi perbaikan dalam pembangunan dan pemeliharaan sistem. 

PASAL 4: Sarjana Teknik Industri dan Manajemen Industri mempunyai rasa tanggung jawab yang tinggi dan di dalam melaksanakan tugasnya tidak akan melakukan perbuatan tidak jujur, mencemarkan atau merugikan sesama rekan sekerja. 

PASAL 5: Sarjana Teknik Industri dan Manajemen Industri akan selalu bersikap dan bertindak bijaksana terhadap sesama rekannya dan terutama kepada rekan mudanya; selalu mengusahakan kemajuan untuk meningkatkan kemampuan dan kecakapan, bagi dirinya pribadi, bagi masyarakat maupun bagi pengebangan Teknik Industri dan Manajemen Industri di Indonesia (http://istmi.or.id). 

 Sumber :

Click to access Etika_Profesi.pdf

http://ti.unpar.ac.id/profil/definisi-teknik-industri/

https://retnofitrii.wordpress.com/2016/04/19/etika-dan-profesi-dalam-bidang-teknik-industri/

Click to access ETIKA+PROFESI+teknik+industri+2.pdf

Review UU Hak Cipta, Hak Paten, Desain Industri, Merek dan Indikasi Geografis

UU Hak Cipta

Hak cipta adalah hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.[1]

 
Ciptaan adalah setiap hasil karya cipta di bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra yang dihasilkan atas inspirasi, kemampuan, pikiran, imajinasi, kecekatan, keterampilan, atau keahlian yang diekspresikan dalam bentuk nyata.[2]
 
Berkaitan dengan pertanyaan Anda, maka pemahaman mengenai pemegang Hak Cipta yang dinyatakan secara sah dapat disimpulkan dari Pasal 1 angka 4 UUHC yang menyatakan bahwa:
 
Pemegang Hak Cipta adalah Pencipta sebagai pemilik Hak Cipta, pihak yang menerima hak tersebut secara sah dari Pencipta, atau pihak lain yang menerima lebih lanjut hak dari pihak yang menerima hak tersebut secara sah.
 
Pencipta adalah seorang atau beberapa orang yang secara sendiri-sendiri atau bersama-sama menghasilkan suatu ciptaan yang bersifat khas dan pribadi.[3]
 
Selanjutnya sehubungan dengan pemahaman awam mengenai sebenarnya kita tidak perlu capek-capek mendaftarkan ciptaan kita, karena tetap dilindungi adalah tidak benar.
 
Pertama perlu diluruskan bahwa dalam ranah hak cipta, frasa yang digunakan bukanlah pendaftaran, melainkan pencatatan.
 
Dalam Pasal 64 ayat (2) UUHC disebutkan sebagai berikut:
 
Pencatatan Ciptaan dan produk Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bukan merupakan syarat untuk mendapatkan Hak Cipta dan Hak Terkait.
 
Dapat dipahami bahwa pencatatan hak cipta memang bukan suatu keharusan bagi pencipta, pemegang hak cipta, atau pemilik hak terkait karena baik ciptaan yang sudah tercatat maupun tidak tercatat tetap dilindungi.[4] Namun demikian apabila terjadi suatu perselisihan/persengketaan/klaim antara dua belah pihak yang menyatakan bahwa masing-masing dari mereka itu adalah pemegang hak cipta atas suatu ciptaan, maka pencatatan atas ciptaan yang dilakukan oleh pencipta atau pemegang hak cipta atau kuasanya dapat menjadi suatu alat bukti yang kuat di depan persidangan yang sekaligus juga menjadi suatu bahan pertimbangan bagi Hakim untuk menentukan siapa pemegang hak cipta yang sah.
 
Sebagai informasi tambahan, kekuatan hukum pencatatan ciptaan dan produk hak terkait hapus karena:[5]
  1. permintaan orang atau badan hukum yang namanya tercatat sebagai pencipta, pemegang Hak Cipta, atau pemilik hak terkait;
  2. lampaunya waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58, Pasal 59, Pasal 60 ayat (2) dan ayat (3), dan Pasal 61 UUHC;
  3. putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap mengenai pembatalan pencatatan Ciptaan atau produk hak terkait; atau
  4. melanggar norma agama, norma susila, ketertiban umum, pertahanan dan keamanan negara, atau peraturan perundang-undangan yang penghapusannya dilakukan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia.[6]


UU Hak Paten
Hak Paten
Hak paten sendiri diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016 tentang Paten (“UU Paten”)Paten adalah hak eksklusif yang diberikan oleh negara kepada inventor atas hasil invensinya di bidang teknologi untuk jangka waktu tertentu melaksanakan sendiri invensi tersebut atau memberikan persetujuan kepada pihak lain untuk melaksanakannya.[1]
 
Inventor adalah seorang atau beberapa orang yang secara bersama-sama melaksanakan ide yang dituangkan ke dalam kegiatan yang menghasilkan invensi.[2] Sedangkan invensi adalah ide inventor yang dituangkan ke dalam suatu kegiatan pemecahan masalah yang spesifik di bidang teknologi berupa produk atau proses, atau penyempurnaan dan pengembangan produk atau proses.[3]
 
Pasal 10 UU Paten menerangkan bahwa:
 
  1. Pihak yang berhak memperoleh Paten adalah Inventor atau Orang yang menerima lebih lanjut hak Inventor yang bersangkutan.
  2. Jika Invensi dihasilkan oleh beberapa orang secara bersama-sama, hak atas Invensi dimiliki secara bersama-sama oleh para Inventor yang bersangkutan.
 
Invensi tidak mencakup:[4]
  1. kreasi estetika;
  2. skema;
  3. aturan dan metode untuk melakukan kegiatan:
  1. yang melibatkan kegiatan mental;
  2. permainan; dan
  3. bisnis.
  1. aturan dan metode yang hanya berisi program komputer;
  2. presentasi mengenai suatu informasi; dan
  3. temuan (discovery) berupa:
  1. penggunaan baru untuk produk yang sudah ada dan/atau dikenal; dan/atau
  2. bentuk baru dari senyawa yang sudah ada yang tidak menghasilkan peningkatan khasiat bermakna dan terdapat perbedaan struktur kimia terkait yang sudah diketahui dari senyawa.
 
Invensi yang tidak dapat diberi paten meliputi:[5]
  1. proses atau produk yang pengumuman, penggunaan, atau pelaksanaannya bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, agama, ketertiban umum, atau kesusilaan;
  2. metode pemeriksaan, perawatan, pengobatan dan/atau pembedahan yang diterapkan terhadap manusia dan/atau hewan;
  3. teori dan metode di bidang ilmu pengetahuan dan matematika;
  4. makhluk hidup, kecuali jasad renik; atau
  5. proses biologis yang esensial untuk memproduksi tanaman atau hewan, kecuali proses nonbiologis atau proses mikrobiologis.
 
Invensi dianggap baru jika pada tanggal diterimanya permohonan yang telah memenuhi persyaratan minimum, invensi tersebut tidak sama dengan teknologi yang diungkapkan sebelumnya.[6] Invensi mengandung langkah inventif jika invensi tersebut bagi seseorang yang mempunyai keahlian tertentu di bidang teknik merupakan hal yang tidak dapat diduga sebelumnya.[7]
 
Hak Paten dalam Hubungan Kerja
Pemegang paten atas invensi yang dihasilkan oleh inventor dalam hubungan kerja merupakan pihak yang memberikan pekerjaan, kecuali diperjanjikan lain.[8] Definisi hubungan kerja sendiri dapat ditemukan dalam Pasal 1 angka 15 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yaitu hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah.
 
Ketentuan di atas juga berlaku terhadap invensi yang dihasilkan, baik oleh karyawan maupun pekerja yang menggunakan data dan/atau sarana yang tersedia dalam pekerjaannya. Inventor berhak mendapatkan imbalan berdasarkan perjanjian yang dibuat oleh pihak pemberi kerja dan inventor dengan memerhatikan manfaat ekonomi yang diperoleh dari invensi dimaksud. Ketentuan-ketentuan tersebut tidak menghapuskan hak inventor untuk tetap dicantumkan namanya dalam sertifikat paten.[9]
 
Berdasarkan uraian tersebut, menurut hemat kami, hubungan Anda sebagai peserta inkubasi dengan inkubator bukan merupakan hubungan kerja. Dalam hal ini, Anda tidak menjadi pekerja, melainkan peserta pembinaan, pendampingan, dan pengembangan bisnis berbasis teknologi. Dengan demikian, hak paten atas invensi Anda tidak serta merta beralih pada penyelenggara inkubasi.
 
Peralihan Hak atas Paten kepada Pihak Lain
Berkaitan dengan pokok pertanyaan Anda, harus dipahami terlebih dahulu mengenai eksklusifitas hak paten bagi pemegangnya. Pemegang paten memiliki hak eksklusif untuk melaksanakan paten yang dimilikinya dan untuk melarang pihak lain yang tanpa persetujuannya:[10]
  1. dalam hal paten-produk: membuat, menggunakan, menjual, mengimpor, menyewakan, menyerahkan, atau menyediakan untuk dijual atau disewakan atau diserahkan produk yang diberi paten;
  2. dalam hal paten-proses: menggunakan proses produksi yang diberi paten untuk membuat barang atau tindakan lainnya sebagaimana dimaksud dalam huruf a.
 
Berdasarkan uraian tersebut, Anda sebagai inventor dan pemegang hak paten mendapatkan hak eksklusif untuk menjadi pihak satu-satunya untuk dapat menggunakan invensi tersebut.
 
Pasal 74 ayat (1) UU Paten lebih lanjut menerangkan bahwa hak atas paten dapat beralih atau dialihkan baik seluruhnya maupun sebagian karena:
  1. pewarisan;
  2. hibah;
  3. wasiat;
  4. wakaf;
  5. perjanjian tertulis; atau
  6. sebab lain yang dibenarkan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
 
Berdasarkan bunyi pasal tersebut, Anda dapat mengalihkan hak paten Anda kepada inkubator dengan perjanjian tertulis. Perjanjian ini, menurut hemat kami, tunduk pada ketentuan umum dalam Buku III tentang Perikatan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUH Perdata”).
 
Perikatan ditujukan untuk memberikan sesuatuuntuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu.[11] Perikatan lahir karena suatu persetujuan atau karena undang-undang.[12] Suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih.[13]
 
Berdasarkan uraian tersebut, Anda dapat melakukan perjanjian dengan pihak inkubator untuk menyerahkan hak paten Anda. Dengan penyerahan tersebut, pemegang paten dan pemegang hak eksklusif atas paten Anda beralih kepada pihak inkubator.
 
Namun perlu diingat bahwa penyerahan hak paten tersebut tidak boleh dilakukan dengan paksaan. Hal ini sesuai dengan pasal 1321 KUH Perdata, yang berbunyi:
 
Tiada suatu persetujuan pun mempunyai kekuatan jika diberikan karena kekhilafan atau diperoleh dengan paksaan atau penipuan.
 
Lisensi
Bentuk pengalihan hak paten lainnya yang dapat Anda jajaki adalah melalui lisensi kepada pihak inkubator, untuk melaksanakan seluruh atau sebagian hak eksklusif yang tercantum dalam Pasal 19 UU Paten. Pasal 76 ayat (1) dan (2) UU Paten menerangkan bahwa:
 
  1. Pemegang Paten berhak memberikan Lisensi kepada pihak lain berdasarkan perjanjian Lisensi baik eksklusif maupun non-eksklusif untuk melaksanakan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19.
  2. Perjanjian Lisensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat mencakup semua atau sebagian perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19.
 
Lisensi adalah izin yang diberikan oleh pemegang paten, baik yang bersifat eksklusif maupun non-eksklusif, kepada penerima lisensi berdasarkan perjanjian tertulis untuk menggunakan paten yang masih dilindungi dalam jangka waktu dan syarat tertentu.[14]
 
Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata-mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.
 
Demikian jawaban kami, semoga bermanfaat.
 
Dasar Hukum:
 
Referensi:
 

[1] Pasal 1 angka 1 UU Paten
[2] Pasal 1 angka 3 UU Paten
[3] Pasal 1 angka 2 UU Paten
[4] Pasal 4 UU Paten
[5] Pasal 9 UU Paten
[6] Pasal 5 ayat (1) jo. Pasal 1 angka 9 UU Paten
[7] Pasal 7 ayat (1) UU Paten
[8] Pasal 12 ayat (1) UU Paten
[9] Pasal 12 ayat (2), (3), dan (6) UU Paten
[10] Pasal 19 ayat (1) UU Paten
[11] Pasal 1234 KUH Perdata
[12] Pasal 1233 KUH Perdata
[13] Pasal 1313 KUH Perdata
[14] Pasal 1 angka 11 UU Paten


UU Desain Industri
  1. Pengertian Desain Industri

Desain Industri menurut UU No. 31 Tahun 2000 Tentang Desain Industri didefinisikan sebagai suatu kreasi tentang bentuk, konfigurasi, atau komposisi garis atau warna, atau garis dan warna, atau gabungan dari padanya yang berbentuk tiga dimensi atau dua dimensi yang memberikan kesan estetis dan dapat diwujudkan dalam pola tiga dimensi atau dua dimensi serta dapat dipakai untuk menghasilkan suatu produk, barang, komoditas industri, atau kerajinan tangan.

  1. Desain Industri yang Mendapatkan Perlindungan

Berdasarkan Pasal 2 (1) dinyatakan bahwa Hak Desain Industri diberikan untuk Desain Industri yang baru.

Lalu Berdasarkan Pasal 2 (2) dinyatakan bahwa Desain Industri dianggap baru apabila pada Tanggal Penerimaan, Desain Industri tersebut tidak sama dengan pengungkapan yang telah ada sebelumnya.

Kemudian, berdasarkan Pasal 2 (3) pengertian mengenai pengungkapan sebelumnya adalah pengungkapan Desain Industri yang sebelum :

  1. tanggal penerimaan; atau
  2. tanggal prioritas apabila Permohonan diajukan dengan Hak Prioritas.
  3. telah diumumkan atau digunakan di Indonesia atau di luar Indonesia.

Berdasarkan penjelasan pasal 2 (1) dan (2) terkadang dalam prakteknya banyak pengusaha yang melakukan promosi terlebih dahulu atas produknya kemudian menjual produknya ke pasaran sebelum Produk Desain Industrinya tersebut di daftarkan. Sehingga, pemeriksa Desain Industri dari Kantor HKI biasanya akan menemukan desainnya tersebut dan menyatakan bahwa desainnya tersebut sudah tidak memiliki kebaharuan karena sudah di jual terlebih dahulu sebelum di daftarkan. Oleh karena itu, para pengusaha yang akan memasarkan produk Desain Industrinya hendaknya terlebih dahulu untuk mendaftarkan Desain Industrinya tersebut sebelum mengkomersialkan produknya di pasaran.

Lalu berdasarkan Pasal 3 UU Desain Industri dijelaskan sebagai berikut :

Suatu Desain Industri tidak dianggap telah diumumkan apabila dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan sebelum Tanggal Penerimaannya, Desain Industri tersebut :

  1. telah dipertunjukkan dalam suatu pameran nasional ataupun internasional di Indonesia atau di luar negeri yang resmi atau diakui sebagai resmi.
  2. telah digunakan di Indonesia oleh Pendesain dalam rangka percobaan dengan tujuan pendidikan, penelitian, atau pengembangan.

Berdasarkan Pasal 3 ini, maka pemilik desain atau pendesain diberikan waktu 6 bulan maksimal dari tanggal pertama kali mempublikasikan karyanya dalam suatu pameran nasional ataupun internasional baik di dalam negeri ataupun di luar negeri dan digunakan dalam rangka riset oleh pendesainnya, jika akan mendaftarkan Desain Industrinya tersebut di Kantor HKI. Oleh karena itu, jika waktunya lebih dari 6 bulan maka akan menyebabkan Desain Industri tersebut sudah tidak baru dan sudah tidak bisa untuk didaftarkan lagi.

  1. Jangka Waktu Perlindungan Desain Industri :

Berdasarkan Pasal 5 (1) UU No. 31 Tahun 2001 Tentang Desain Industri disebutkan bahwa Perlindungan terhadap Hak Desain Industri diberikan untuk jangka waktu 10 (sepuluh) tahun terhitung sejak Tanggal Penerimaan.

Berdasarkan pasal diatas, sebuah Desain Industri yang telah lebih dari 10 tahun, maka Desain Industrinya tersebut sudah tidak memiliki perlindungannya lagi (public domain) maka siapapun dapat menggunakan Desain Industrinya tersebut tanpa memerlukan izin dari pemilik Desainnya.

  1. Jika Perusahaan Memesan Sebuah Desain Kemasan Kepada Pihak Ke 3 Lalu Bagaimana untuk Proses pendaftaran Desainnya Tersebut ?

 

Berdasarkan Pasal 6 (1) dinyatakan bahwa yang berhak memperoleh Hak Desain Industri adalah Pendesain atau yang menerima hak tersebut dari Pendesain.

Berdasarkan Pasal diatas, jika perusahaan ingin mendaftarkan sebuah desain kemasan produk, maka harus ada surat pengalihan Hak dari Pendesain kepada Perusahaan sebagai pihak yang akan mendaftarkan Desain Industrinya tersebut. Jika Desain Industri anda akan didaftarkan melalui Jasa Konsultan Kekayaan Intelektual, maka Konsultan akan memberikan template surat pengalihan hak (Assignment) untuk ditanda-tangani oleh pemberi hak (pendesain) diatas materai 6.000 dan juga ditandatangani oleh penerima hak (pemohon/perusahaan).

  1. Bagaimanakah Jika Pendesain lebih dari satu orang ?

Berdasarkan Pasal 6 (2) dinyatakan bahwa dalam hal Pendesain terdiri atas beberapa orang secara bersama, Hak Desain Industri diberikan kepada mereka secara bersama, kecuali jika diperjanjikan lain.

Sebagai contoh jika sebuah desain produk dibuat oleh 3 orang pendesain, maka ke-3 orang tersebut harus disebutkan namanya sebagai pendesain, namun jika ada perjanjian lain diantara masing-masing pihak maka bisa saja salah satunya saja yang disebutkan nama pendesainnya.

  1. Statistik Pengajuan Desain Industri di Indonesia

Berdasarkan data pengajuan Desain Industri ke Indonesia pada tahun 2015 pengajuan Desain Industri banyak didominasi oleh pemohon dari dalam negeri yaitu sejumlah 2.635 permohonan, sedangkan permohonan desain Industri dari luar negeri sejumlah 1.272 permohonan. Oleh karena itu, dengan banyaknya permohonan dari dalam negeri dibandingkan dari luar negeri hal ini menandakan bahwa permohonan dari dalam negeri akan terus meningkat kedepannya.


UU Merek dan Indikasi Geografis

Pada saat ini, untuk persoalan dan permasalahan seputar merek tidak lagi mempergunakan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1997 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1992 tentang Merek. Aturan tersebut telah diganti dengan Undang-Undang Nomor 15 tahun 2001 tentang Merek yang kemudian dicabut dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis (“UU MIG”).
 
Salah satu pertimbangan diundangkannya UU MIG pada tanggal 25 November 2016 dapat dilihat dalam konsiderans menimbang huruf c UU MIG, disebutkan bahwa dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek masih terdapat kekurangan dan belum dapat menampung perkembangan kebutuhan masyarakat di bidang merek dan indikasi geografis serta belum cukup menjamin pelindungan potensi ekonomi lokal dan nasional sehingga perlu diganti.
 
Selain itu, keikutsertaan Indonesia meratifikasi Konvensi tentang Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization) yang mencakup pula persetujuan tentang Aspek-aspek Dagang dari Hak Kekayaan Intelektual/HKI (Trade Related Aspect of Intellectual Property Rights/TRIPs) sebagaimana telah disahkan dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing the World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia), telah menuntut Indonesia untuk mematuhi dan melaksanakan isi dari perjanjian internasional tersebut. Ratifikasi dari peraturan tersebut mendorong keikutsertaan Indonesia dalam meratifikasi Paris Convention for the Protection of Industrial Property (Konvensi Paris) yang telah disahkan dengan Keputusan Presiden Nomor 15 Tahun 1997 dan Trademark Law Treaty (Traktat Hukum Merek) yang disahkan dengan Keputusan Presiden Nomor 17 Tahun 1997. Perjanjian internasional tersebut menjadikan adanya kewajiban bagi Indonesia untuk menyesuaikan Undang-Undang Merek yang berlaku dengan ketentuan dalam perjanjian internasional yang telah diratifikasi tersebut.[1]
 
Penyempurnaan dalam UU MIG dengan Aturan Sebelumnya
Perlu kami jabarkan bahwa terdapat beberapa penyempurnaan yang terdapat dalam UU MIG dibandingkan dengan aturan-aturan sebelumnya, yaitu:[2]
  1. Munculnya pelindungan terhadap tipe merek baru atau yang disebut sebagai merek nontradisional. Dalam UU MIG lingkup merek yang dilindungi meliputi pula merek suara, merek tiga dimensi, merek hologram, yang termasuk dalam kategori merek nontradisional tersebut;
  2. Adanya pengaturan tentang persyaratan minimum permohonan akan memberikan kemudahan dalam pengajuan permohonan dengan cukup mengisi formulir permohonan, melampirkan label atau contoh merek yang dimohonkan pendaftaran, dan membayar biaya permohonan;
  3. Perubahan terhadap alur proses pendaftaran merek dalam dimaksudkan untuk lebih mempercepat penyelesaian proses pendaftaran merek;
  4. Pemilik merek diberi kesempatan tambahan untuk dapat melakukan perpanjangan pendaftaran mereknya sampai 6 (enam) bulan setelah berakhirnya jangka waktu pendaftaran merek dengan maksud agar pemilik merek terdaftar tidak dengan mudah kehilangan hak atas mereknya sebagai akibat adanya keterlambatan dalam mengajukan perpanjangan pendaftaran merek;
  5. Sanksi pidana terhadap pelanggaran merek diperberat khususnya yang mengancam kesehatan manusia, lingkungan hidup, dan dapat mengakibatkan kematian.
 
Selain 5 hal di atas, dalam artikel Ini Perbedaan UU Merek yang Lama dan UU Merek yang Baru dijelaskan bahwa terdapat beberapa perbedaan dalam UU MIG dengan UU merek yang lama, yaitu:
  1. Menteri memiliki hak untuk menghapus merek terdaftar dengan alasan merek tersebut merupakan indikasi geografis, atau bertentangan dengan kesusilaan dan agama; Sedangkan untuk pemilik merek terdaftar tersebut dapat mengajukan keberatannya melalui gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara;
  2. Merek terkenal dapat mengajukan gugatan berdasarkan putusan pengadilan;
  3. Ketentuan mengenai indikasi geografis diatur dalam empat Bab (Pasal 53 sampai dengan Pasal 71 UU MIG).
 
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
 
Dasar Hukum:
 
Referensi:
  1. Paris Convention for the Protection of Industrial Property, diakses pada Selasan 9 Juli 2019, pukul 17.04 WIB;
  2. Trademark Law Treaty, diakses pada Selasa 9 Juli 2019, pukul 17.19 WIB.
  3. Trade Related Aspect of Intellectual Property Rights/TRIPs, diakses pada Selasa 9 Juli 2019, pukul 16.48 WIB.